Senin, 07 Maret 2011

AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI PESAN UNTUK INDIVIDU MUSLIM ALI IMRAN 110 dan AZ ZUMAR AYAT 9

“ Apakah orang yang khusyu’ beribadah diwaktu malam, sambil bersujud dan sambil berdiri, takut akan hari akhirat dan orang yang mengharapkan rahmat Tuhanya sama dengan orang yang tiada melakukan hal demikian? Katakanlah, “samakah orang yang berilmu dan orang yang tiada berilmu? Hanyalah orang yang berpikiran yang menerima peringatan (Az Zumar 9)
Ayat sebelumnya berbicara mengenai orang yang tidak beriman yang dikecam oleh Allah, dan ayat diatas menegaskan perbedaan sikap dan ganjaran yang akan mereka(orang kafir) terima dengan yang diterima oleh orang orang beriman. Ayat ini menggambarkan sikap lahir batin mereka yang tekun beribadah itu. Sikap lahir digambarkan dengan kata-kata sajidan/sujud dan Qa’iman/berdiri dan sikap batinya dengan yakhdzarul akhirah, wa yarjuu rahmah: Takut akan akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan.
Ayat diatas menggarisbawahi rasa takut hanya pada akhirat, sedang rahmat tidak dibatasi dengan akhirat sehingga dapat mencakup rahmat duniawi dan Ukhrawi. Seorang mukmin hendaknya tidak merasa takut menghadapi kehidupan dunia apapun yang terjadi selama ia bertakwa kepada Allah. Takwa salah satunya terwujud melalui rasa takut terhadap hari akhirat. Takut disini bukan bermakna takut yang menimbulkan rasa putus asa (apatis) tetapi lebih pada makna waspada. Seorang mukmin dalam memjalani kehidupan hendaknya senantiasa waspada sehingga akan selalu meningkatkan ketakwaanya, namun tidak pernah kehilangan optimisme (baik sangka) kepada Allah.
Mengenai lafadz ya’lamuun dalam ayat di atas menunjukan betapa ilmu pengetahuan merupakan hal penting yang perlu dimiliki manusia. Ilmu pengetahuan yang dimakud adalah ilmu yang bermanfaat. Dengan ilmu yang bermanfaat maka manusia akan mengetahui hakikat segala sesuatu, dan berusaha menyesuaikan diri dengan ilmu tersebut. Dan kata yatadzakkarun menunjukkan betapa banyaknya pelajaran yang dapat diperoleh orang yang bergelar ulul albab ini.
Di akhir ayat, Allah menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Pelajaran tersebut baik dari pengalaman hidupnya atau dari tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat dilangit dan di bumi serta isinya, juga yang terdapat dalam dirinya atau teladan dari kisah umat yang lalu. Jika di urutkan setidaknya ada tia hal pokok yang dapat diambil pelajaran dari ayat diatas yaitu:
Pertama, Tidaklah sama antara hamba Allah yang menyadari dirinya sebagai hamba-Nya, memahami tanda-tanda kekuasaan Allah dan menaati perintahnya dengan orang yang mendustakan nikmat Allah. Kedua, Tidaklah sama orang yang mengetahui ilmu pengetahuan dan yang tidak berilmu. Dan Ketiga Hanya orang yang sehat akalnya yang dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Kemudian dari Surah Ali Imran Ayat 110:
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia karena kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah,sekiranya ahli kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman namun kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik “
Kita dapat mengambil pesan dari ayat diatas bahwa umat terbaik yang diciptakan Allah ialah umat yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT.
Dari kedua surah diatas setidaknya kita dapat mengambil beberapa pesan terkait nilai akhlak dalam kehidupan manusia :
1. Kesadaran diri sebagai hamba yang memahami tanda-tanda kekuasaan Allah yang memberi dampak ketaatan kepada Sang Pencipta.
2. Pentingnya ilmu pengetahuan yang merupakan instrument utama manusia dalam menjalankan peranya sebagai kahlifah di bumi. Ilmu inilah yang akan mengantarkan manusia memahami hakikat segala sesuatu dan akan mengarahkan setiap tingkah laku mereka.
3. Hanya orang yang berakal yang mampu menyerap pelajaran dari Allah
4. Keimanan dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar merupakan dua hal yang menjadikan umat islam sebagai umat terbaik ciptaan Allah. Dua hal ini bisa dilihat dari aspek sebagai individu maupaun kaitanya dalam hubungan sosial sesama manusia.
Dari penjelasan sederhana diatas, setidaknya manusia (khususnya umat muslim) memiliki bekal yang jelas mengenai nilai akhlak seperti apa yang harus dimiliki dan diamalkan. Sebagai wujud pengamalan dari ayat diatas manusia hendaknya memiliki empat komponen nilai diatas.
Setelah memiliki kesadaran dan memahami posisinya sebagai hamba, manusia akan berusaha memahami tanda kekuasaan Tuhan yang membuatnya belajar dan mengejar pengetahuan, pengetahuan inilah yang akan mengantarkanya pada iman. Iman yang dipadu dengan pengetahuan ini akan menjadi jalan petunjuk untuk melaksanakan peran yang lain yakni amar ma,ruf-nahi munkar untuk menciptakan keselarasan dan keteraturan dalam kehidupan.
Dan dalam rangka menyerap pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah, serta menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dimuka bumi, manusia dituntut memiliki pemahaman yang memadai mengenai keadaan sekitarnya baik lingkungan hidup sesama manusia maupun keadaan lingkungan alam yang merupakan “rumah bersama” seluruh makhluk Tuhan.
Dalam konteks hubungan sosial kita perlu memahami situasi dan kondisi yang tengah menjadi realitas kehidupan. Sebuah realitas kehidupan yang beragam penuh warna perbedaan. Bagaimana kita bisa memahami tanda kekuasaan Allah yang hadir dalam bentuk realitas kehidupan yang penuh keragaman ini. Akhlak seperti apakah yang tepat kita terapkan menghadapi realitas semacam itu?
Bahasan selanjutnya insyaallah akan memaparkan dengan singkat mengenai akhlak dalam kehidupan sesama umat manusia dalam konteks keluarga manusia secara univeral.

Sumber :
•Al-Qur’an dan Terjemahnya
•Khalid, Amru. 2005. Menjadi Mukmin yang berakhlak. Jakarta : Qisthie Press.
•Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.

AKHLAK TERHADAP SESAMA MANUSIA (SOSIAL) PESAN TOLERANSI DALAM SURAH AL HUJURAT AYAT 11-13

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka lebih baik dari mereka(yang menghina). Dan jangan pula wanita wanita terhadap wanita-wanita lainya. Boleh jadi mereka lenih baik dari mereka dan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan sesudah iman, dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Al Hujurat :11)
“Hai orang orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa menggunjing sebagian yang lain apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?Tentu kamu meraa jijik dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha penerima Taubat dan Maha penyayang”. (Al Hujurat: 12)
“Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi maha mengenal” (Al Hujurat 13).
Ayat 11 Surat al Hujurat diatas memberi petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Dalam Ayat ini Allah mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada kaum yang mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olok pada sisi Allah lebih mulia dari pada kaum yang memperolok. Pesan yang sama juga Allah sampaikan kepada kaum perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain. Allah melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk seperti panggilan kepada sessorang yang sudah beriman dengan kata-kata: Hai fasik! Hai Kafir dan sebagainya. Tindakan mengolok-olok dan memberi panggilan yang buruk semacam ini dapat menjadi sumbu pertikaian dan menimbulkan keretakan antar kaum tersebut.
Lebih jauh kita mengaitkan ayat diatas dengan realitas kehidupan manusia dewasa ini yang plural dan multikultural. Sebuah wajah kehidupan penuh keragaman dan perbedaan antar bangsa yang seringkali menimbulkan konflik antar sesama manusia. Dan sumber konflik itu tak bisa dilepasakan dari pandangan moral kita sebagai manusia. Dalam masyarakat muslim sendiri, upaya mendiskreditkan kelompok (kaum) dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan fenomena mutakhir. Di Indonesia, Fenomena penyebutan kafir, bid’ah, murtad, sesat, kepada saudara yang jelas-jelas muslim itu, saat ini telah membuat resah dan justru merenggangkan tali ukhuwah yang telah terjalin.
Ayat diatas merupakan ayat yang sangat penting untuk membangun etika sosial terutama dalam kapasitas kita sebagai manusia yang tak lain adalah makhluk sosial. Seharusnya dalam ranah sosial mesti tercipta keharmonisan sosial antara satu agama dengan agama lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain, satu madzhab dengan madzhab lain dan seterusnya. Dalam konteks ini, sikap yang dicontohkan para ulama fikih merupakan khazanah yang dapat dijadikan teladan dan patut diamalkan terus menerus. Tujuanya tak lain adalah agar keragaman(pluralitas) dirayakan dalam rangka membangun kebersamaan dan toleransi.
Ayat selanjutnya 12, membawa pesan untuk orang-orang yang beriman, yang dari segi esensi makna sejalan dengan ayat 11 yakni pertama, melarang untuk berburuk sangka, mencari-cari kesalahan,dan bergunjing. Kedua Allah memberi perumpamaan bagi orang yang suka menggunjing seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Ketiga perintah takwa kepada Allah yang Maha pengampun dan Maha penyayang. Ayat yang melarang untuk menggunjing dan mencari aib orang lain merupakan ajakan untuk menghargai dan menghormati keadaan orang lain meskipun berbeda pendapat. Dan dalam pandangan fikih pun membicarakan kesalahan orang lain (yang jelas-jelas memang salah) itu dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Ini merupakan wujud bahwa Islam sangat menghargai rasa kemanusiaan yang kadang akan tersakiti jika mengetahui kesalahanya dibicarakan oleh khalayak umum. Dan untuk menghargai rasa kemanusiaan itulah diperlukan toleransi dari setiap orang agar tidak menggunjing dan sebagainya.
Lebih lanjut tentang pesan toleransi dalam ayat diatas. Perbedaan adalah hal wajar dan lumrah. Penciptaan akal pikiran dalam diri manusia merupakan bukti konkret bahwa Tuhan menghendaki perbedaan. Yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan dibangun diatas kebencian yang bisa menjuru pada konflik. Dan perbedaan semacam ini tidak dianjurkan oleh Al Qur’an. Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk memperhatikan dimensi sosial kemasyarakatan. Iman harus diterjemahkan dalam tindakan. Dan berdasar dua ayat diatas, untuk menterjemahkan iman dari ayat ini setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
1. Perintah untuk tidak menghardik, membenci atau mengolok-olok kaum lain. Alasan Al Qur’an adalah bisa jadi kaum yang dihina atau dibenci lebih baik dan mulia dari pada kaum yang menghina dan membenci. Pesan dari ayat ini berangkat dari kisah seorang sahabat nabi yang tuli bernama Tsabit bin Qays bin Syammas.
2. Larangan untuk mencela dan membuka aib orang lain. Menurut imam Ar Razi larangan ini lebih berat disbanding yang pertama. Karena yang pertama lebih bersifat simbolik namun yang kedua ini lebih memungkinkan memancing amarah.
3. Larangan untuk memberi gelar atau panggilan yang tidak pantas. Karena tindakan ini merupakan tingkatan tertinggi dalam upaya menebar kebencian, yaitu sudah masuk dalam pelabelan seseorang, kaum atau sebuah kelompok, yang dengan label panggilan tersebut akan dianggap mewakili karakter si penerima label tersebut.
Tiga hal tersebut semestinya dijadikan pedoman etika bermasyarakat bagi kaum muslim. Muslim yang baik tidak sepatutnya mengucapkan dan melakukan sesuatu yang tidak sesuai etika sosial tersebut. Kehidupan sosial yang didominasi sikap benci, ghibah, dan komunikasi yang tidak manusiawi pada akhirnya akan berujung pada perselisihan yang permanen. Maka sikap yang tepat yang harus dijunjung tinggi adalah toleransi.
Penjelasan diatas lebih lanjut didukung oleh ayat ke 13 yang menyebutkan secara eksplisit bahwa Allah berkehendak menciptakan kehidupan di dunia ini beragam-berbeda(lelaki-perempuan, bersuku-suku, berbangsa-bangsa) dengan tujuan saling mengenal. Mengenal disini dapat lebih luas dimaknai dengan membangun sikap toleransi, saling menghormati, menghargai dan mengembangkan pengertian antara sesama makhluk Tuhan.
Ayat 13 ini memiliki sebab turun yang bermula dari kisah ketidakadilan yang menimpa Abu Hindun kaum budak, ketika Nabi memerintahkan untuk menikahi kaum budak tersebut dan ditolak kerena dianggap memiliki derajat rendah, kemudian turunlah ayat ini.
Dari kacamata sosiologi politik sikap Rasulullah -dengan merujuk pada ayat- tersebut merupakan sikap yang sangat moderat dan sejalan dengan semangat demokrasi, karena seluruh umat diperlakukan secara setara. Kaum budak yang secara sosiologis dimasa itu merupakan kaum marginal pun mendapat perlakuan yang sama dari Nabi, sehingga pada akhirnya sistem perbudakan ini di hapuskan sama sekali. Dan ini bukti bahwa sejak dahulu, Islam merupakan agama yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Relasi perempuan laki-laki yang selama ini mengalami ketimpangan akibat cara pandang diskriminatif pada zaman pra-Islam dengan sendirinya terhapus dengan datangnya Islam, terlebih setelah turunya ayat 13 surah al Hujurat ini. Kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, sejajar, dan setara, dan penciptaan keduanya memiliki tujuan agar mereka saling melengkapi, menyempurnakan satu sama lain untuk memakmurkan Bumi Allah yang luas dan kaya ini. Bukan untuk saling mengunggulkan satu kaum dan menindas kaum yang lainya seperti praktik kaum jahiliyah Arab sebelum Nabi diutus ke bumi.
Di samping itu Allah juga menciptakan manusia dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Pesan Illahi yang menyiratkan bahwa hakikat dalam penciptaan adalah kebangsaan, dan karakter makhluk Tuhan di muka bumi adalah beragam. Dengan keberagaman ini diharapkan agar seluruh makhluknya membangun peradaban toleransi. Antara satu makhluk satu dengan makhluk lainya harus saling mengenal dan berdialog, berinteraksi, untuk memperkecil potensi konflik dan benturan akibat perbedaan-perbedaan yang ada. Tidak sepatutnya bila sebuah kelompok sosial tertentu membangga-banggakan dirinya dan merendahkan kelompok sosial lainya yang efeknya adalah semakin lebarnya jurang perbedaan dalam strata sosial. Karena itulah, Al Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia, senantiasa mendorong akhlak toleransi dan dialog untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan damai.
Dan keluarga universal yang berakhlak toleransi ini tak akan merasakan kesejahteraan sejati tanpa ada dukungan dari lingkungan alam. Oleh karena itu manusia perlu juga bertoleransi kepada lingkungan. Perlu juga berdialog dan berinteraksi secara harmonis agar keduanya saling memberi kemanfaatan. Maka menurut kami sangat relevan jika pembahasan terakhir ini kita membicarakan tentang akhlak terhadap lingkungan.

Sumber :
• Al-Qur’an dan Terjemahnya
• Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.
• Misrawi, Zuhairi. 2010. Al Qur’an Kitab Toleransi:Tafsir Tematik Islam Rahmatan lin ‘alamin. Jakarta : Pustaka Oasis.

AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN ALAM SPIRIT AL QUR’AN UNTUK KESEIMBANGAN LINGKUNGAN DALAM SURAH AR RUM AYAT 41

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia sehingga Allah mencicipkan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan dosa mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. (Ar Rum: 41)
Setelah mengetahui dan memahami sikap yang benar dalam konteks hubungan masyarakat dan sesama manusia, kita sebagai umat Islam dan umat manusia hendaknya memiliki akhlak yang mulia terhadap lingkungan dan alam sekitar kita. Apa artinya keharmonisan antar manusia tercipta, sementara lingkungan alam tempat tinggal kita bersama ini rusak lantaran tidak kita perlakukan dengan baik ? Keharmonisan dunia akan lebih memberi kesejahteraan manakala didukung dengan keseimbangan, keteraturan dan kebermanfaatan lingkungan alam untuk kehidupan. Dan peran manusia di muka bumi mutlak diperlukan untuk menjaga, memelihara, mengelola dan memakmurkan Alam Lingkungan karunia Allah ini.
Surah Az zumar ayat 41 diatas menjelaskan tentang kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat dari perbuatan tangan manusia baik di darat dan dilaut. Sebagian ulama memaknai Al Fasad(kerusakan) dalam ayat ini sebagai kemusyrikan dan menjurus pada pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap Habil. Sementara ulama kontemporer memahaminya dalam arti kerusakan lingkungan. Hal ini karena ayat tersebut memakai kata (dzahara) yang memiliki arti telah tampak. Jadi kerusakan yang dimaksud adalah kerusakan yang secara dzahir tampak baik itu di darat maupun di laut. Dan jika merujuk Al Qur’an, maka ada banyak ayat yang menjelaskan aneka kerusakan yang dikemukakan terkait konteks Al Fasad ini. Seperti dalam surat Al Maidah 32, Al A’araf 85, Al Imran 63, Al Anfal 73, Hud 11.
Ayat diatas menyebut darat dan laut sebagai tempat terjadinya kerusakan (fasad). Ini dapat berarti bahwa darat dan laut merupakan arena kerusakan akibat ulah manusia. Seperti misalnya pencurian, perampokan, dan pencemaran dilaut akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam ekosistem alam. Eksploitasi lingkungan darat yang semena-mena dan tidak memperhatikan keteraturan akan berdampak negatif, yaitu kacaunya sistem harmonisasi alam. Dan dampak itu tentu memberi kerugian besar terhadap kehidupan umat manusia. Disini terlihat betapa ayat ini menjelaskan secara logis bahwa Allah selain Maha berkuasa dan berkehendak, tetapi juga Maha Adil dengan menerapkan hukum kausalitas terhadap makhluknya. Jika manusia berbuat sesuatu yang tercela, maka manusia sendiri yang akan merasakan dampaknya.
Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Ibnu Asyur menjelaskan secara luas tentang kebersatuan dan keterkaitan alam. Bahwa alam raya telah diciptakan Allah dalam sebuah sistem yang serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Tapi mereka melakukan kegiatan buruk yang merusak sehingga terjadi kepincangan dan ketidaksimbangan dalam sistem kerja alam semesta. Bahwa perbuatan tercela yang dilakukan manusia akan menimbulkan ketidakteraturan dan ketidakeimbangan dalam kehidupan. Keduanya ini akan menimbulkan kesusahan untuk manusia serta mempersulit gerak hidup mereka. Semakin banyak perusakan yang dilakukan, maka semakin besar dampak buruknya untuk manusia.
Allah SWT menciptakan segala sesuatu itu saling terkait. Keterkaitan itu lahir dari keserasian dan keseimbangan dan keseimbangan yang kesemuanya tunduk dibawah pengaturan Allah. Segala keharmonisan alam tidaklah hadir secara otomatis begitu saja. Semua atas kehendak Allah.
Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Anbiya : 107 yang artinya : Tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam
Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagai khalifah di muka bumi yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan, mengelola, dan meletarikan alam. Memakmurkan alam adalah mengelola sumber daya alam sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur untuk disikapi oleh manusia dengan kerja keras mengolah dan memeliharanya sehingga melahirkan nilai tambah yang tinggi sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS Hud : 61 Artinya : “Dia menciptakan kaliandan menjadikan kalian sebagai pemakmurnya.”
Pada intinya etika Islam terhadap alam semesta hanya mengajarkan satu hal saja yaitu perintah jangan membuat kerusakan di muka bumi. Namun perintah ini mempunyai makna yang cukup luas mulai dari menjaga kerbersihan bumi, tidak bersikap sewenang–wenang terhadap alam, tidak mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan sendiri. Kerusakan alam dan ekosistem di lautan dan di daratan terjadi akibat manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus, dan angkuh. Ada sebuah ungkapan yang sangat relevan untuk dijadikan renungan yaitu: “bumi ini akan cukup memenuhi kebutuhan bermilyar – milyar manusia akan tetapi tidak cukup memenuhi keserakahan satu orang saja.”
Islam mengingatkan sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk manusia, namun semua yang ada ini milik Allah SWT. Hal ini akan mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada dalam genggaman tangan-Nya tidak lain amanat yang harus dipertanggungjawabkan. Pernyataan Tuhan dalam ayat di atas mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, kelompok atau bangsa dan jenisnya saja melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang – wenang terhadap lingkungan alam.
Demikianlah pesan mengenai akhlak lingkungan telah kita pahami bersama. Pemahaman dan sikap yang benar terhadap lingkungan, (baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam semesta) berdasarkan ayat Qur’an merupakan wujud upaya kita sebagai manusia yang beriman, berakal sehat, untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan dalam rangka penghambaan dan penyerahan diri kepada-Nya.

Sumber :
• Al-Qur’an dan Terjemahnya.
• Ramli, Muhammad, dkk. 2005. Mengenal Islam. Semarang : UNNES.
• Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.